Rabu, 27 Agustus 2008

Pembagian Hadis

Pembagian Hadits Secara Umum

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA

Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta'rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.

c. Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

  1. Hadits Mutawatir Lafzi

Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."

Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :

"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."

2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :

Artinya :"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."

Artinya:
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.

Contoh :

Artinya :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :

"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."

3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :

Artinya :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

Contoh :

Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.

Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.

2. Hadis Ahad

a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:

Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."

b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.

Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.

Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."

Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.

Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.

Contoh hadis :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.

Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.

Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.

Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.

Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.

1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."

3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.

Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:

* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.

Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.

Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.

1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.

2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.

B. Hadis Mardud

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).

Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA

1. Hadis Muttasil

Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.

Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."

Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.

Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.

Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.

2. Hadis Munqati'

Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.

Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.

Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.

Jumat, 22 Agustus 2008

KEWAJIBAN MEMPELAJARI AL-QUR'AN

KEWAJIBAN MEMPELAJARI AL-QUR'AN

PENDAHULUAN

Banyak informasi yang salah tentang Al-Qur'an yang disiarkan di kalangan masyarakat. Itu terjadi karena salah faham atau karena tidak mengerti sama sekali; artinya mungkin tidak ada kesengajaan untuk menyiarkan faham yang salah itu. Bagaimanapun setiap orang yang mengerti adanya kesalahan itu berkewajiban untuk meluruskannya.

Masyarakat harus dibebaskan secepatnya dari pemahaman yang salah, agar tidak terlanjur menjadi kaum yang sesat tanpa merasakan adanya kesesatan itu pada dirinya.

Selama ini orang banyak yang tidak menyadari bahwa dia memikul kewajiban yang sangat diperlukan untuk keselamatan dirinya sendiri. Kewajiban bagi setiap orang untuk mempelajari Al-Qur'an, agar dengannya dia mendapat petunjuk. Dalam kaitan dengan adanya kewajiban itulah tulisan ini disusun, mudah-mudahan berguna untuk membantu mendekatkan pemahaman terhadap Al-Qur'an.

Kepada Allah jua kembalinya segala persoalan ini dan Dia pula yang akan membalasnya.

KEWAJIBAN MEMPELAJARI AL-QUR'AN

Ada dua tinjauan yang dapat kita pakai untuk menetapkan kewajiban mempelajari Al-Qur'an. Aqli dan Naqli.

I. Tinjauan Aqli (akal)

Agama Islam (Dien Al-Islam) menyangkut soal ibadah Khas dan Mua'malah (Syari'at), Akhlaq dan Aqidah. Seseorang yang tidak mengenal agamanya, mustahil dapat menjalani ajaran agamanya dengan baik dan benar.

Orang yang tidak tahu Syari'at mudah tergelincir dalam kesalahan dan bid'ah. Yang tidak tahu Aqidah mudah tergelincir dalam bid'ah dan syirik, sedang yang tidak tahu Akhlaq paling sedikit akan tercela karena kebodohannya.

Salah satu bentuk kesesatan orang zaman dahulu adalah cara ibadah yang tidak ada tuntunannya.

Para penyembah berhala mengaku bahwa penyembahan yang mereka lakukan itu sebenarnya hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah (!).

Tetapi perbuatan mereka itu tergolong syirik, justru karena mereka tidak tahu bagaimana seharusnya orang beribadah kepada Allah secara benar.

Al-Qur'an Sebagai Petunjuk bagi Muttaqin

Al-Qur'an adalah petunjuk bagi orang bertaqwa, sebagaimana tersebut dalam ayat:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

"Kitab itu (Al-Qur'an), tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa." S. Al-Baqarah (2):2

Untuk dapat menjalani dengan benar dan menjadikan agama sebagai petunjuknya, seseorang harus memahaminya; untuk dapat memahami, dia harus mempelajarinya. Menurut logika, orang hanya akan dapat mempergunakan Al-Qur'an sebagai petunjuk jika faham isinya. Sedang kefahaman hanya diperoleh lewat belajar, dalam hal ini berguru.

Dapat kita katakan bahwa tanpa mempelajari Al-Qur'an tidak mungkin orang mendapat petunjuk jalan yang benar dan terbebaskan dari kesesatan.

Kewajiban Menuntut Ilmu

Orang sering menyatakan bahwa menurut ajaran Islam setiap orang diwajibkan belajar/menuntut ilmu. Dalam soal ini sebenarnya ada hadits;

عَنْ عَبْدِ اللَّـهِ بْنِ عَمْرٍى قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّـهِ صَلَّى اللَّـهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ (( العِلْمُ ثَلاَثَةٌ فَمَا وَرَاءَ ذلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيْضَةٌ عَادِلَةٌ)). أخرجه ابن ماجة

"Dari Abdullah bin Amru, berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam: "Ilmu (yang pokok) itu ada tiga. Adapun yang selain tiga itu adalah kelebihan (keutamaan): Ayat Muhkamah atau Sunnah yang tegak atau Faraidl yang adil."

Dikeluarkan oleh ibnu Majah, hadits No.54.

Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu-ilmu yang muslimin wajib menuntut dan mempelajarinya itu yang pokok adalah: Al-Qur'an, As-Sunnah (yang diketahui lewat Al-Hadits) dan faraidl yang benar, yang adil. Sedang ilmu-ilmu selain yang tiga itu sifatnya sebagai keutamaan, sebagai tambahan.

Sesuatu yang berfungsi sebagai tambahan itu baru diperlukan tatkala yang pokok sudah tersedia. Tanpa adanya barang pokok, barang tambahan jadi kurang diperlukan, dan bahkan dapat menjadi sia-sia belaka.

Demikian pula halnya dengan Al-Qur'an. Sebagai barang pokok dia harus ada dan sekaligus menjadikan ilmu-ilmu yang lain bermanfaat. Sebaliknya, ketiadaannya menjadikan ilmu-ilmu lain kurang manfaatnya atau bahkan tidak berguna sama sekali. Artinya, jikalau seseorang mempelajari ilmu dunia (tidak pokok) sedang dia tidak mempelajari Al-Qur'an sama sekali, maka apa yang dia pelajari itu tidak membuat dia baik, bahkan memalukan. Sebaliknya, apabila orang sudah mempelajari Al-Qur'an, maka ilmu lain yang dia pelajari menjadikan dia semakin baik dan semakin bertambah kebaikan dan keutamaannya.

Kalau kita gambarkan bahwa pakaian yang pokok itu adalah baju dan celana, sedang dasi itu sebagai pakaian tambahan (aksesori), pernahkah anda renungkan, bagaimana keadaan seseorang yang tampan, mengenakan dasi yang amat bagus dan mahal, sementara itu dia lupa mengenakan kemeja dan celana atau bahkan sengaja tidak memakainya? Inilah gambaran orang yang menuntut ilmu selain Al-Qur'an, sedang dalam waktu yang sama dia tidak pernah mempelajari Al-Qur'an.

II- TINJAUAN NAQLI (NASH)

Allah Mewajibkan Al-Qur'an kepada Muslimin

Tatkala Allah memberikan kewajiban kepada manusia agar beribadah/mengabdi kepada-Nya, Allah menurunkan juga petunjuk tentang tata cara ibadah/pengabdian itu. Petunjuk itu berupa Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam yang sekaligus merupakan penjelasan bagi Al-Qur'an.

Untuk kepruan ibadah itu juga, Allah berikan petunjuk berupa Al-Qur'an yang harus diamalkan. Pengamalan ini tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan pemahaman. Dalam kaitan perwajiban ini Allah berfirman:

سُوْرَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَ فَرَضْنَاهَا وَ أَنْزَلْنَا فِيْهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

"(Ini adalah) Satu surat yang Kami menurunkannya dan Kami mewajibkannya serta Kami turunkan padanya itu ayat-ayat yang terang, supaya kalian mengambil pengertian." S. An-Nur (24): 1.

Dalam ayat inii kita dapatkan bahwa Allah mewajibkan hukum-hukum wajib yang dibawa Al-Qur'an. Orang tidak mungkin mengerti mana wajib dan mana bukan wajib, apabila tidak mengetahui maksud/makna Al-Qur'an. Untuk itu orang harus mempelajari Al-Qur'an.

Nasib Orang yang Berpaling dari Al-Qur'an

Ada orang selama hidup melalaikan Al-Qur'an. Kelalaian ini akan membawa akibat atas dirinya, sebagaimana firman Nya:

وَ مَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَ نَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعَمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعَمَى وَ كُنْتُ بَصِيْرًا. قَالَ كَذلِكَ أَتَتْكَ آيَتُنَا فَنَسِيْتَهَا وَ كَذلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى.

"Dan barangsiapa berpalling dari peringatan Ku, maka sesungguhnya baginya ada penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.

Dia akan berkata, "Wahai pemeliharaku ! Kenapa Kau kumpulkan aku dalam keadaan buta, sedang aku dahulunya melihat?!"

Allah berfirman, "Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu engkau melupakannya. Maka begitu juga pada hari ini engkau dilupakan."

S. Thaha (20) : 124-126

Orang yang berpaling dari Al-Qur'an dan melupakannya adalah mereka yang tidak mau beramal seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur'an, sama saja sengaja atau tidak. Mereka diancam akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Lalu manakah orang yang tidak berpaling dan tidak melupakan Al-Qur'an, jika diberi hidup di dunia sampai puluhan tahun, sempat mempelajari Biologi, Fisika, Kimia dan lain-lainnya, sedang dia tidak sempat mempelajari Al-Qur'an?!

Orang Tersesat Merasa Mendapat Petunjuk

Ada kalanya manusia terhalang dari kebaikan, sementara dia merasa berada dalam kebenaran sebagaimana firman Allah:

وَ مَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ. وَ إِنَّهُمْ لَيَصُدُّوْنَهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ وَ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُوْنَ.

"Dan barangsiapa berpaling dari mengingat Ar-Rahman, kami gandengkan syaithan baginya lalu dia menjadi teman baginya. Dan sesungguhnya mereka (para syaithan) itu sungguh menghalangi mereka dari jalan yang lurus, sedang mereka menyangka bahwa mereka itu orang yang mendapat petunjuk."

S. Az-Zukhruf (43) : 36-37.

Sesuai dengan namanya, salah satu fungsi Al-Qur'an adalah untuk bacaan dan sekaligus Dzikir. Karena itu berpaling dari Al-Qur'an juga sekaligus berpaling dari salah satu fungsinya, yakni Dzikir (mengingat) Allah. Perpalingan ini mengakibatkan pergandengan dengan syaithan yang menghalangi dari jalan Allah, sedang yang terhalangi merasa dirinya di tempat yang benar.

Untuk menghindari ini, jalan keluarnya adalah mempelajari Al-Qur'an. Dalam ayat lain kita dapatkan firman Nya:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنُ إِلَى مَعَادٍ. قُلْ رَبِّي أَعَلَمُ مَنْ جَاءَ بِالهُدَى وَ مَنْ هُوَ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ.

"Sesungguhnya Yang Mewajibkan Al-Qur'an atasmu itu akan mengembalikanmu ke tempat kembali (semula). Katakanlah, "Pemeliharaku lebih mengetahui siapa yang datang dengan petunjuk dan siapa yang dia itu berada dalam kesesatan yang nyata."

S. Al-Qoshos (28) : 85.

Dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa Allah telah mewajibkan Al-Qur'an kepada Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam untuk mengamalkan dan menyampaikan.

Menurut kaidah Ushul setiap perintah kepada Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam berlaku juga atas sekalian ummatnya, kecuali kalau ada keterangan yang menunjukkan kekhususannya. Demikian juga kewajiban tentang Al-Qur'an. Yang berkewajiban adalah Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam dan seluruh ummat beliau.

Tersesat Selagi Belum Belajar Al-Qur'an

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّيْنَ رَسُوْلاً مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ.

"Dia (Allah) Yang telah membangkitkan di kalangan kaum ummiy (tidak dapat menulis) seorang Rasul dari kalangan mereka yang membacakan ayat-ayat Nya kepada mereka, dan mensucikan mereka, serta mengajar mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan adalah mereka itu sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata."

S. Al-Jumu'ah (62) : 2

Ayat ini menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam diutus dari kalangan kaumnya yang buta huruf, dengan tugas membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan mereka (dengan mengamalkan ajaran Islam) dan mengajar mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah.

Kemudian diterangkan pula bahwa sebelum menerima semua itu (termasuk pengajaran Al-Kitab) mereka masih berada dalam kesesatan.

Dengan demikian, untuk terlepas dari kesesatan, orang harus mendengarkan pembacaann Al-Qur'an, mengamalkan ajaran-ajaran Islam dan mempelajari Al-Qur'an serta As-Sunnah, si mana yang disebut terakhir itu sebagai penjelasannya.

Kita dapatkan bahwa mengaku sebagai seorang muslim saja tidak cukup. Setiap muslim harus mengenal agamanya sendiri, harus mengetahui Al-Qur'an. Dan ini hanya dapat diperoleh dengan belajar, dengan berguru.

Dapatkah Kita Belajar Sendiri?

Sudah terbukti bahwa pada banyak cabang ilmu pengetahuan, orang dapat belajar dan bahkan menggali sendiri ilmu tersebut.

Tetapi agak berbeda dalam soal Dien Al-Islam.

Dien Al-Islam dipelajari tidak sekedar untuk pengetahuan, melainkan untuk diyakini dann diamalkan. Pendekatan terhadap Dien Al-Islam tidaklah seperti pendekatan kita terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya. Ada bagian-bagian yang memang orang dapat menggalinya kalau sudah tiba waktunya, sesuai dengan kemampuannya. Tetapi ada bagian lain yang mau tidak mau orang harus mendengar dan menerima penjelasan. Begitulah Dien Al-Islam dan begitulah Al-Qur'an.

Untuk mempelajari Dien Al-Islam dengan selamat dan benar, dalam hal ini mempelajari Al-Qur'an, orang sebaiknya berguru. Belajar dari kitab terjemahan sungguh tidak dianjurkan, walaupun kita tidak punya hak untuk melarang. Di lapangan banyak ditemukan orang salah memahami Al-Qur'an karena belajar sendiri dengan mengandalkan kitab terjemahan. Yang sangat menyedihkan, dia menyampaikan dan mengajarkan pengertian yang salah itu kepada orang lain.

Hassan, penyusun kitab Tafsir Al-Furqan, menyatakan dalam pendahuluannya pada Fasal 3:

JANGAN FAHAM DARI TERJEMAHAN

Qur'an itu dalam bahasa Arab; kita salin ke bahasa kita supaya kita faham. Telah ma'lum di antara ahli-ahli bahasa, bahwa kalau kitaterjemahkan satu kalimat dari bahasa A umpamanya, ke bahasa B, maka belum tentu apa-apa yang kita faham dari bahasa A itu bisa juga kita faham dari bahasa B.

Dari itu, apa-apa "faham" yang kita dapat dari tafsir bahasa Indonesia, di tafsir ini, belum tentu itupun atau itulah yang dimaksudkan oleh ayat.

Apa dan Bagaimana Mempelajari Al-Qur'an?

Allah Ta'ala berfirman :

لاَتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ. إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرآنَهُ. فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ.

"Jangan engkau gerakkan lisanmu dengan sebabnya (Al-Qur'an) lantaran engkau hendak menyegerakannya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami pengumpulannya dan bacaannya. Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungan Kami penjelasannya."

S.Al-Qiyamah (75) : 16-19

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa terkumpulnya Al-Qur'an, bacaan dan penjelasan atau tafsir Al-Qur'an itu menjadi tanggungan dan jaminan Allah. Artinya adanya al-Qur'an yang 30 juz dengan urut-urutan surat sebagaimana yang telah kita lihat, bunyi bacaan serta penjelasannya itu semua jadi tanggungan Allah, terserah Allah dan ditentukan Allah. Perkara-perkara inilah yang perlu kita pelajari. Kita perlu tahu bagaimana bunyi bacaan seperti yang Allah kehendaki itu, kemudian bagaimana Allah kehendaki (maksud) dengan bacaan yang Dia tentukan itu.

Di samping itu, menurut bahasa, Qur'an bearti bacaan atau sesuatu yang dibaca. Dari segi penamaannya saja sudah dapat dimengerti kalau Al-Qur'an mesti dipelajari bacaannya.

Dilihat dari segi fungsi Al-Qur'an sebagai petunjuk, dengan sendirinya yang harus dipelajari adalah isi dan maksudnya. Ini yang kita dapatkan dari penjelasan atau tafsir tersebut. Untuk segala kepentingan dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari agar tidak menyalahi Al-Qur'an, orang harus mempelajari isi Al-Qur'an.

Sebagai tambahan dapat diberitahukan bahwa kalau seseorang mau mempelajari Al-Qur'an sekedar untuk keperluannya sendiri, sebagai tadzkirah bagi dirinya sendiri, maka dia hanya memerlukan waktu belajar efektif selama 3 (tiga) bulan saja. Selebihnya, dia sudah mulai mendalami.

Yang diperlukan ialah niat yang tulus, kemauan dan seorang guru yang faham. Mulailah dan dengan petunjuk Allah Ta'ala, anda akan berhasil.