TAFSIR AN-NUR
Karya Prof. Dr. Hasbi al-shiddieqy
I. PENDAHULUAN
RIWAYAT TAFSIR AN-NUR[1]
Tafsir An-Nur ini dikerjakan oleh Hasbi Ash-Shiddiqy sejak tahun 1952-1961 (sembilan tahun) di sela-sela kesibukannya mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota konstituante dan kegiatan-kegiatan lainnya. Hidupnya yang sarat dengan beban itu tidak memberi peluang baginya untuk secara konsisten mengikuti tahap-tahap kerja yang lazim dilakukan oleh penulis-penulis profesional. Dengan bekal pengetahuan, semangat dan dambaannya untuk menghadirkan sebuah kitab tafsir dalam bahasa indonesia yang tidak hanya sekedar terjemahan, ia mendiktekan naskah kitab tafsirnya ini kepada seorang pengetik dan langsung menjadi naskah siap cetak. Memang ketika ia mendiktekan naskah itu, di atas meja kerjanya penuh terhampar buku-buku referensi dan catatan-catatannya berupa kertas berserakan. Itulah yang menjadi salah satu penyebab terjadi pengulangan informasi, penekanan ayat, penomoran catatan kaki yang tidak mengikuti metode penulisan karya ilmiah dalam tafsir ini.
Tafsir an-Nur telah dicetak sebanyak dua kali, cetakan yang kedua telah mengalami beberapa penyempurnaan menyangkut penggantian kulit muka dan struktur bahasa indonesia.
Tafsir An-Nur yang pertama terbit pada tahun 1956, ini adalah kitab tafsir pertama yang diterbitkan di indonesia, sehingga merupakan pelopor dari khazanah perpustakaan di tanah air, menurut penilaian seorang mubaligh, tafsir ini mudah dicerna tidak saja oleh golongan pemula, namun juga bisa dipelajari dan dijadikan objek penelitian dan para peminat tafsir.
Penerbitan cetakan kedua dilakukan penyempurnaan bahasa oleh H. Sudarto, seorang wartawan yang berdiam di Semarang, dan juga penyuntingan, persiapan sistem penyusunan tafsir oleh alm. Prof. Dr. Nourrouzzaman shiddiqi, M. A. (salah seorang putera alm. Teungku muhammad hasbi ash-shiddiqi, yang wafat pada tanggal 19 Juli 1999).
II. BIOGRAFI HASBI AL-SHIDDIEQY[2]
Prof. DR. Hasbi al-Shiddieqy Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975. Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi al-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar al-Shiddieq (573-13 H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar al-Shiddieqy di belakang namanya.
Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh. Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoris causa) yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga. Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. yang didasari karena lima jasa yang dimiliki oleh beliau, yakni :
1. Pembinaan IAIN;
2. Perkembangan Ilmu agama Islam;
3. Jasa-jasa beliau kepada masyarakat;
4. Pokok-pokok pemikiran beliau tentang cita-cita hokum Islam, dan:
5. Pendapat-pendapatbeliau tentang beberapa masalah hokum.
Sementara gelar Professor dalam bidang ilmu Hadits beliau peroleh tahun 1962 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama No. B.IV.I/37-92 tanggal 30 Juli 1962 dan dikukuhkan dengan Keputusan Presidn RI No. 71/M-1 tanggal 22 Mei 1963.[3]
Ada beberapa sisi menarik pada diri Muhammad Hasbi, antara lain:[4]
Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) di-Indonesia-kan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah.
Pada tanggal 9 Desember 1975, berusia 71 tahun, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, beliau meninggal di Rumah Sakit Islam Jakarta dan jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta.[5] Pada waktu pemberangkatan jenazahnya dari rumah anaknya yang bungsu di Tanjung Duren Selatan Jakarta Barat ke Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta selatan telah memberikan kata sambutan pelepasan : Amelz (Abdul Manaf el-Zamzami) mewakili keluarga, serta Prof. Dr. Hamka dan Drs. H. Kafrawi Ridwan, M.A atas nama menteri agama. Makamnya berdampingan dengan Prof. Thoha Yahya Umar M.A, dan dekat makam Sa’adudin Jambek.
III. KARYA-KARYA HASBI ASH-SHIDDIEQY
Hasbi Ash-Shiddieqy adalah seorang alim yang sangat produktif dan banyak menulis. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Beberapa diantaranya adalah :
1. Tafsir an-Nur
2. Al-Bayan, yang merupakan penyempurnaan dari tafsir an-nur
3. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an. Karena keahliannya dalam bidang tafsir, sehingga ia diberi penghargaan sebagai salah seorang penulis tafsir terkemuka di Indonesia pada tahun 1957/1958, serta dipilih sebagai wakil ketua lembaga penerjemah dan Penafsir al-Qur’an Departemen Agama RI.[6]
4. Pengantar Hukum Islam
5. Peradilan dan Hukum Acara Islam
6. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis
7. Pokok-pokok Ilmu Diniyah Hadis (I-II)
8. Kuliah Ibadah
9. Fiqh Mawaris
10. Pedoman Haji
11. Pidana Mati dalam Syariat Islam
12. Hukum-hukum Fiqih Islam
13. Pengantar Fiqh Muamalah
14. Filsafat Hukum Islam
15. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah
16. Buklet “ Penoetoep Moeloet” (karya pertama pada awal tahun 1930-an)
17. Buku Al-Islam, dua jilid (1951)
18. Buku Pedoman Shalat, yang dicetak ulang sebanyak 15 kali oleh dua percetakan yang berbeda (1984)
19. Buku Mutiara Hadits, sebanyak 8 jilid (1968)
20. Buku Koleksi Hadits Hukum, sebanyak 11 jilid, baru terbit 6 jilid (1971) dll.
IV. METODE PENAFSIRAN
Untuk menentukan metode apa yang di gunakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy, harus diketahui dulu motivasi dan sumber-sumber dalam penafsiran An-Nur. Pada kata pengantar Tafsir An-Nur, beliau mengatakan :
Indonesia membutuhkan perkembangan tafsir dalam bahasa persatuan Indonesia, maka untuk memperbanyak lektur Islam dalam masyarakat Indonesia dan untuk mewujudkan suatu tafsir yang sederhana yang menuntun para pembacanya kepada pemahaman ayat dengan perantaraan ayat-ayat itu sendiri. Sebagaimana Allah telah menerangkan ; bahwa Al-Qur’an itu setengahnya menafsirkan yang setengahnya, yang meliputi penafsiran-penafsiran yang diterima akal berdasarkan pentakhwilan ilmu dan pengetahuan, yang menjadikan intisari pendapat para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diisyaratkan Al-Qur’an secara ringkas. Dengan berharap taufiq dan inayah yang maha pemurah lagi maha penyayang, kemudian dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadits yang mu’tamad, kitab-kitab sirah yang terkenal. Saya menyusun kitab tafsir in dengan saya namai “An-Nur.[7]
Melihat ungkapan diatas, terlihat bahwa motivasi Hasbi Ash-Shiddieqy sangat mulia yaitu untuk memenuhi hajat orang Islam di Indonesia untuk mendapatkan tafsir dalam Bahasa Indonesia yang lengkap, sederhana dan mudah dipahami, sesrta ia menerangkan sepenggal-sepenggal ayat al-qur’an dengan menulisnya menggunakan bahasa latin dimaksudkan agar orang-orang yang tidak bisa membaca al-qur’an dengan bahasa arabnya maka ia bisa membacanya dengan huruf latin.
Sumber yang beliau gunakan dalam menyusun tafsir An-Nur adalah :
1. 'Umdatut Tafsir 'Anil Hafidz Ibnu Katsir,
2. Tafsir al-Manar(karya Muhammad Abduh);
3. Tafsir al-Qasimy;
4. Tafsir al-Maraghy (karya Ahmad Musthafa al-Maraghi), dan
5. Tafsir al-Wadhih.
Sedangkan metode yang dilakukan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy adalah:[8]
Pertama, mengemukakan ayat-ayat yang akan ditafsirkan satu, dua, atau tiga ayat dan kadang-kadang lebih. Dan dalam hal ini Hasbi Ash-Shiddieqy menuruti al-maragy, yang pada umumnya menuruti al-manar dan kadang-kadang menuruti tafsir al-wadhih.
Kedua, ayat-ayat tersebut kemudian di bagi kepada beberapa jumlah. Masing-masing jumlah ditafsirkan sendiri-sendiri.
Ketiga, dalam menerjemahkan ayat ke dalam bahasa indonesia, Hasbi Ash-Shiddieqy berpedoman kepada tafsir abu suud, tafsir shiddiqy hasan khan dan tafsir al-qasimy.
Keempat, menerangkan tafsiran ayat, dalam materi penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy mensarikan dari uraian al-maraghy dan al-manar, dan dalam menafsirkan ayat-ayat yang semakna menuruti tafsir al-imam ibnu katsir.
Kelima, menerangkan asbabun nuzul ayat, apabila terdapat atsar yang diakui keshahihannya oleh ahli atsar.
Metode semacam ini juga dipergunakan oleh mufassir pada abad modern yang ditulis pasca kebangkitan umat Islam, seperti metode yang dipakai Prof. DR. Hamka (Indonesia).
Berdasarkan sumber-sumber yang dipakai, maka dapat diketahui bahwa metode yang dipakai oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam menyusun tafisir An-Nur adalah metode campuran antara metode bil Ro’yi atau bil Ma’qul. Hal ini juga beliau kemukakan bahwa, dalam menyusun tafsir ini berpedoman pada tafsir induk, baik kitab tafsir bil Matsur maupun kitab tafsir bin Ma’qul.
Sementara jika diperhatikan sistematika yang tergantung dalam kitab tafsir An-Nur, terdiri dari 4 (empat) tahap pembahasan, yakni :
1. Penyebutkan ayat secara tartib mushaf tanpa diberi judul;
2. terjemahan ayat kedalam Bahasa Indonesia dengan diberi judul “Terjemahan”;
3. Penafsiran masing-masing ayat dengan didukung oleh ayat yang lain, hadits, riwayat Shahabat dan Tabi’in serta penjelasan yang ada kaitannya dengan ayat tersebut dan tahapan ini diberi judul “Tafsirnya”;
4. Kesimpulan, intisari dari kandungan ayat yang diberi judul “Kesimpulan”.
V. KESIMPULAN
Tafsir An-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqy tidak mempunyai corak dan orientasi terhadap bidang tertentu, sebab kalau diperhatikan semua tafsirnya tidak memuat bidang ilmu tertentu, seperti bidang Bahasa, hukum, sufi, filsafat dan sebagainya. Hasbi Ash-Shiddieqy membahasnya dengan mengaitkan bidang ilmu pengetahuan secara merata artinya tidak ada penekanan pada bidang tertentu, sebab membahas dengan memfokuskan pada bidang tertentu menurutnya akan membahwa para pembaca keluar dari bidang tafsir.
Pada kata pengantar kitab tafsir an-Nur beliau menyatakan : “Meninggalkan uraian yang tidak langsung berhubungan dengan tafsir ayat, supaya tidak selalu para pembaca dibawa keluar dari bidang tafsir, baik ke bidang sejarah atau bidang ilmiah yang lain”
Dari ungkapan di atas, Hasbi Ash-Shiddieqy tidak bermaksud menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan uraian ilmiah yang panjang lebar yang dikhawatirkan keluar dari tujuan ayat-ayat tertentu. Dengan demikian tafsir An-Nur tidak mempunyai corak atau orientasi tertentu, namun bisa dikatakan komplit, artinya meliputi segala bidang.[9]
Sekilas Tentang Filologi Tafsir Al-Nur yang Ditemukan Oleh Pemakalah
Nama: Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
Pengarang : Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
Editor : Dr. H. Nourouzzaman Shiddiqi, MA. Dan H. Z. Fuad Hasbi ash-Shiddieqy
Penerbit : Pustaka Rizki Putra
Kota Penerbit : Semarang
Tahun Terbit : 2000
ISBN : 979-9430-01-1
Jumlah Halaman + Ukuran : xxxvi + 1024 hlm; 24 cm.
No UU : Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7 Th. 1987
Cetakan : Ke-2
Edisi : Ke-2
Waktu Cetak : September 2000.
Warna kertas : Putih
Cover : Hard Cover
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam
Junaidi, Zamakhsari, “T.M. Hasbi ; Mujtahid Muqarin yang Produktif”, Majalah Pesantren No. 2/Vol. II/1985. H. 71
Tafsir An-Nur
http://sabrial.wordpress.com/teungku-muhammad-hasbi-ash-shiddiqy/.(10-11-09:01.47 WIB)
http://melayuonline.com/ind/personage/dig/291/teungku-muhammad-hasbi-ash-shiddieqy (10-11-09: 07.40 WIB)
http://dzikirsufi.blogspot.com/ (10-11-09:07:40 WIB)
[1] Tafsir an-nur, hal vii-ix (Pengantar dari Penerbit)
[2] Tafsir an-Nur, hal xvii (sekilas tentang penulis)
[3] http://dzikirsufi.blogspot.com/ (10-11-09: 07: 40 WIB)
[4] http://sabrial.wordpress.com/teungku-muhammad-hasbi-ash-shiddiqy/. (10-11-09 : 01.47 WIB)
[5] Zamakhsari Junaidi, “T.M. Hasbi ; Mujtahid Muqarin yang Produktif”, Majalah Pesantren No. 2/Vol. II/1985. H. 71
[6] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hal 95-96
[7] Tafsir an-nur, hal xii (penggerak usaha)
[8] Tafsir an-nur, hal xii dan xv (penggerak usaha dan sepatah kata penjelasan)
[9] http://dzikirsufi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar