Minggu, 27 Mei 2012

Sumber-sumber Pendidikan Islam


Sumber-sumber Pendidikan Islam
Islam, apabila ditinjau dari segi kebahasaan  berasal dari kata bahasa arab yaitu, aslama, yuslimu, islaman, yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk. Dan kata aslama sendiri berasal dari kata salima, yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Dengan demikian islam secara bahasa berarti berserah diri, tunduk patuh (kepada Allah) untuk mencapai keselamatan.[1] Secara tidak langsung pengertian islam dari segi kebahasaan ini telah menunjukkan misi dari islam itu sendiri yaitu mengajak umat manusia untuk hidup damai, aman dan selamat dunia akhirat dengan cara patuh, tunduk kepada Allah, atau disebut dengan ibadah.[2]
Agama islam diwahyukan allah melalui perantara nabi Muhammad untuk semua makhluk-Nya yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan.
Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia saat ini, mempunyai beberapa sumber yang menjadi pedoman pemeluknya, diantaranya adalah:
1. Al-Quran
2. Hadis
3. Ijma’ dan Qiyas (Teori-teori para salafus saleh)
Sumber-sumber tersebut di atas, juga menjadi sumber di dalam pendidikan islam, karena pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang menjadi tujuan untuk agama islam. Dan juga termasuk ke dalam tujuan nabi Muhammad diutus.[3] Sebagaimana dalam sabdanya: “Sesungguhnya hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (etika).” (HR. Al-Bukhari)
1. Al-Quran
Manna Khalil Qattan memberikan definisi al-Quran menurut bahasa berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan yang berarti bacaan,[4] maka tidak salah apabila membaca al-Quran mendapatkan pahala dan ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah surah al-Alaq ayat 1-5 yang salah satu ayatnya berbunyi (yang artinya): Bacalah atas nama tuhanmu !.
Selain menurut bahasa, Manna Khlail Qattan juga memberikan definisi alquran menurut istilah yang telah disepakati para ulama yaitu kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang pembacaannya merupakan suatu ibadah.[5]
            Al-Quran merupakan sumber pertama syariat islam, yang dijadikan pedoman hidup semua muslim termasuk dalam aspek pendidikan, dalam bahasa arab pendidikan disebut dengan kata at-Tarbiyyah, yang berasal dari kata rabba – yurabbi – tarbiyyatan. Kata rabba di dalam al-Quran berarti yang mendidik, mengasuh, dan memelihara.[6] Sehingga di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang membicarakan tentang konsep dasar pendidikan, diantaranya :
1. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme dalam filsafat.[7] Dalam firman Allah surah an-Nahl ayat 78:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٧٨)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Dengan pendengaran, penglihatan dan hati, manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang disampaikan kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan kehendak dan kekuasaannya.
2. Namun, pada dasarnya proses memperoleh pengetahuan adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-‘Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[8]
3. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 101 disebutkan:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا تُغْنِي الآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ (١٠١)
 “Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.
Al-Qur’an membimbing manusia agar selalu memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari lingkungan ini manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan.
4. Namun, pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan juga meliputi berbagai hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah Al-Haqqah ayat 38-39:
فَلا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ (٣٨)وَمَا لا تُبْصِرُونَ (٣٩)
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat (39)”.
5. Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an surah Al-Nahl ayat 8 disebutkan:
                                                                                                                                                               يَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٨)
“Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”.[9]
6. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat menyelamatkannya di akhirat kelak.
Dalam al-Qur’an surah al-Baqoroh ayat 201 disebutkan:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (٢٠١)
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.
Pendidikan yang terkandung dalam al-Quran ini dimaksudkan adalah “pendidikan yang menyeluruh” (tidak terbatas pada madrasah, mesjid, atau institusi pendidikan saja, tidak terbatas pada ibadah dan melupakan akhlak, atau bersifat individu dan melupakan amal, tetapi meliputi segala aspek kehidupan manusia.
2. Hadis Nabi
Hadis dalam arti bahasa menurut manna khalil qattan adalah lawan dari qaddim (lama).[10] Dan yang dimaksud hadis sebagai sumber kedua setelah al-Quran yaitu ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi  Muhammad.[11]
Fungsi hadis sebagai sumber kedua ini adalah penjelasan teoritis dan praktis ayat-ayat al-Quran yang masih global.[12] Hadis atau sering disebut dengan sunnah memberikan gambaran praktis seluruh perilaku dan perjalanan hidup Rasulullah, sehingga secara tidak langsung dalam setiap perilaku nabi Muhammad terhadap keluarga dan para sahabatnya pada saat itu bahkan sampai kepada pengikutnya sekarang merupakan suatu pengajaran tentang kehidupan (pendidikan).
Menurut soekarno dan ahmad supardi, pendidikan islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul dan beliau sendiri sebagai gurunya.[13] Pendidikan islam mulai dilaksanakan Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru manusia kepada Allah, sebagaimana dalam surah al-Mudatsir ayat 1-7:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ(١) قُمْ فَأَنْذِرْ(٢) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ(٣) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(٤) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ(٥) وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ(٦) وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ(٧)
1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. dan Tuhanmu agungkanlah! 4. dan pakaianmu bersihkanlah, 5. dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. 7. dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti mendidik. Langkah awal yang nabi lakukan adalah mulai dari keluarganya terlebih dahulu sampai kepada kaum quraisy.
Peran sunnah dalam pendidikan, adalah nabi bertindak seperti al-Quran, sunnah nabi dalam mendidik umatnya mempunyai 2 metode:
1.   Bersifat Positif, dalam arti membuat seseorang mulia dengan ilmu dan akhlak yang dimilikinya, sebagaimana di dalam al-Quran
2.   Bersifat Penjagaan, dalam arti menghindari sesorang dari segala keburukan, dan menjaga persatuan dari perpecahan.
3. Ijma’ dan Qiyas
Ijma’ yang sering disebut dengan kesepakatan sahabat terhadap sesuatu,[14] dan qiyas adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukum.[15]
Tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah dengan sunnah Nabi SAW. Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri. Unsur kreatif dari kandungan merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kritalisasi dalam ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabi (pendapat sahabat). Praktik amaliah sahabat identik dengan ijma’ (konsensus umum). Upaya sahabat Nabi SAW, dalam pendidikan islam yang sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran dewasa ini.
Abu Bakar Al-Shidiq: mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan islam, meluruskan keimanan masyarakat dari pemurtadan dan memerangi pembangkang dari pembayaran zakat.[16]
Umar Bin Al-Khatab adalah bahwa ia seorang bapak revolusioner terhadap ajaran islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah islam dan memerangi kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan pendidikan islam dewasa ini.[17]
Utsman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berfikir ilmiah dalam menyatukan susunan Al-Qur’an dalam satu mushaf, yang semua berbeda antara mushaf satu dengan mushaf  lainnya.[18]
            Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti bagaimana seyogianya etika peserta didik pada pendidikannya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya.[19]
Cabang dari ijma’ dan qiyas
  • Kemaslahatan umat/sosial (Mashalil al-Mursalah)
Mashalil al-mursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan [20]
Ketentuan yang dicetuskan mashalil al- mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria:
  1.  Apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis.
  2. Kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi.
  3. Keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar Al-Qur’an dan as-sunnah.
  • Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Uruf)
Tradisi (‘uruf/adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera.[21]
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat:
a.       Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
b.      Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan kemudaratan.
  • Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al-wus’i wa thaqati (pengerahan kesanggupan dan kekuatan).
Hasil ijtihad berupa rumusan operasional tentang pendidikan Islam yang dilakukan dengan menggunakan metode deduktif atau induktif dalam melihat masalah-masalah kependidikan.
Tujuan dilakukan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan moderenisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas.

Kesimpulan
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, yang mencakup semua aspek kehidupan baik individual maupun social, baik ketauhidan maupun kemanusiaan. Semua yang menjadi sumber syariat islam seperti al-Quran, hadis (sunnah), ijma’ dan qiyas, itu juga termasuk ke dalam sumber pendidikan islam. Sehingga terdapat prinsip-prinsip pendidikan, tujuan-tujuan pendidikan dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.

Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta, Litera AntarNusa,
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Prof. Dr., Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Aly, Hery Noer & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, Jakarta, CV. Triasco.
Asrohah, Hanun, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 2001.
Khalaf, Abdul Wahab, Prof. Dr., Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin, Prof. Dr. H., Metodologi Studi Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf ,Dr., Membumikan Syariat Islam, Bandung, Arasy Mizan.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 2001.


[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 338.
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Hal. 339.
[3] Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, Hal. 427.
[4] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta, Litera AntarNusa, Hal. 15-16.
[5] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Hal. 17.
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Hal. 333.
[7] Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, Jakarta, CV. Triasco, Hal. 109.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 2001, Hal. 433.
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Hal. 436.
[10] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Hal. 22.
[11] Dr. Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, Bandung, Arasy Mizan, Hal. 53
[12] Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Hal. 429.
[13] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 2001, Hal. 12.
[14] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hal. 64.
[15] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 76.
[16] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 16.
[17] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 17.
[18] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 18-20.
[19] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 21.
[20] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 126.
[21] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 133.

Tidak ada komentar: