Sumber-sumber Pendidikan Islam
Islam, apabila ditinjau dari segi
kebahasaan berasal dari kata bahasa arab
yaitu, aslama, yuslimu, islaman, yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk.
Dan kata aslama sendiri berasal dari kata salima, yang berarti selamat,
sentosa, dan damai. Dengan demikian islam secara bahasa berarti berserah diri,
tunduk patuh (kepada Allah) untuk mencapai keselamatan.[1]
Secara tidak langsung pengertian islam dari segi kebahasaan ini telah
menunjukkan misi dari islam itu sendiri yaitu mengajak umat manusia untuk hidup
damai, aman dan selamat dunia akhirat dengan cara patuh, tunduk kepada Allah,
atau disebut dengan ibadah.[2]
Agama islam diwahyukan allah melalui
perantara nabi Muhammad untuk semua makhluk-Nya yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan.
Islam yang merupakan agama mayoritas
di Indonesia saat ini, mempunyai beberapa sumber yang menjadi pedoman
pemeluknya, diantaranya adalah:
1. Al-Quran
2. Hadis
3. Ijma’ dan Qiyas (Teori-teori para salafus saleh)
Sumber-sumber tersebut di atas, juga
menjadi sumber di dalam pendidikan islam, karena pendidikan merupakan salah
satu aspek kehidupan yang menjadi tujuan untuk agama islam. Dan juga termasuk
ke dalam tujuan nabi Muhammad diutus.[3]
Sebagaimana dalam sabdanya: “Sesungguhnya hanyalah aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak (etika).” (HR. Al-Bukhari)
1. Al-Quran
Manna Khalil Qattan memberikan
definisi al-Quran menurut bahasa berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan
yang berarti bacaan,[4]
maka tidak salah apabila membaca al-Quran mendapatkan pahala dan ayat pertama
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah surah al-Alaq ayat 1-5 yang salah
satu ayatnya berbunyi (yang artinya): Bacalah atas nama tuhanmu !.
Selain menurut bahasa, Manna Khlail
Qattan juga memberikan definisi alquran menurut istilah yang telah disepakati
para ulama yaitu kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang
pembacaannya merupakan suatu ibadah.[5]
Al-Quran
merupakan sumber pertama syariat islam, yang dijadikan pedoman hidup semua
muslim termasuk dalam aspek pendidikan, dalam bahasa arab pendidikan disebut
dengan kata at-Tarbiyyah, yang berasal dari kata rabba – yurabbi – tarbiyyatan.
Kata rabba di dalam al-Quran berarti yang mendidik, mengasuh, dan memelihara.[6]
Sehingga di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang membicarakan tentang
konsep dasar pendidikan, diantaranya :
1. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme
dan positivisme dalam filsafat.[7]
Dalam firman Allah surah an-Nahl ayat 78:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٧٨)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Dengan pendengaran, penglihatan dan
hati, manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang disampaikan
kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan
kehendak dan kekuasaannya.
2. Namun, pada dasarnya proses memperoleh pengetahuan
adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-‘Alaq ayat
1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
(١)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2).
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
(5)”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir
aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui
ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan
apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja
selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah
alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun
yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkaunya.[8]
3. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 101
disebutkan:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا تُغْنِي الآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لا
يُؤْمِنُونَ (١٠١)
“Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yaag ada di
langit dan di bumi”.
Al-Qur’an membimbing manusia agar
selalu memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari lingkungan ini
manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan.
4. Namun, pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang
dapat diindra saja. Pengetahuan juga meliputi berbagai hal yang tidak dapat
diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah Al-Haqqah ayat 38-39:
فَلا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ (٣٨)وَمَا
لا تُبْصِرُونَ (٣٩)
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu
lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat (39)”.
5. Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan
nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat,
diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an surah Al-Nahl ayat 8
disebutkan:
يَخْلُقُ
مَا لا تَعْلَمُونَ (٨)
“Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya”.[9]
6. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dalam
pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat menyelamatkannya di
akhirat kelak.
Dalam al-Qur’an surah al-Baqoroh
ayat 201 disebutkan:
وَمِنْهُمْ مَنْ
يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (٢٠١)
“Dan di antara mereka ada orang yang
berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat
dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk
apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan
duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain
sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya
pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak
akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan
cita-cita itu sendiri.
Pendidikan yang terkandung dalam
al-Quran ini dimaksudkan adalah “pendidikan yang menyeluruh” (tidak terbatas
pada madrasah, mesjid, atau institusi pendidikan saja, tidak terbatas pada
ibadah dan melupakan akhlak, atau bersifat individu dan melupakan amal, tetapi
meliputi segala aspek kehidupan manusia.
2. Hadis Nabi
Hadis dalam arti bahasa menurut
manna khalil qattan adalah lawan dari qaddim (lama).[10]
Dan yang dimaksud hadis sebagai sumber kedua setelah al-Quran yaitu ucapan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad.[11]
Fungsi hadis sebagai sumber kedua
ini adalah penjelasan teoritis dan praktis ayat-ayat al-Quran yang masih
global.[12]
Hadis atau sering disebut dengan sunnah memberikan gambaran praktis seluruh
perilaku dan perjalanan hidup Rasulullah, sehingga secara tidak langsung dalam
setiap perilaku nabi Muhammad terhadap keluarga dan para sahabatnya pada saat
itu bahkan sampai kepada pengikutnya sekarang merupakan suatu pengajaran
tentang kehidupan (pendidikan).
Menurut soekarno dan ahmad supardi,
pendidikan islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul dan beliau
sendiri sebagai gurunya.[13]
Pendidikan islam mulai dilaksanakan Rasulullah setelah mendapat perintah dari
Allah agar beliau menyeru manusia kepada Allah, sebagaimana dalam surah
al-Mudatsir ayat 1-7:
يَا أَيُّهَا
الْمُدَّثِّرُ(١) قُمْ فَأَنْذِرْ(٢)
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ(٣)
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(٤)
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ(٥)
وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ(٦)
وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ(٧)
1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2.
bangunlah, lalu berilah peringatan!
3.
dan Tuhanmu agungkanlah!
4.
dan pakaianmu bersihkanlah,
5.
dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
6.
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak. 7. dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Menyeru berarti mengajak, dan
mengajak berarti mendidik. Langkah awal yang nabi lakukan adalah mulai dari
keluarganya terlebih dahulu sampai kepada kaum quraisy.
Peran sunnah dalam pendidikan,
adalah nabi bertindak seperti al-Quran, sunnah nabi dalam mendidik umatnya
mempunyai 2 metode:
1. Bersifat Positif, dalam arti membuat seseorang mulia
dengan ilmu dan akhlak yang dimilikinya, sebagaimana di dalam al-Quran
2. Bersifat Penjagaan, dalam arti menghindari sesorang dari
segala keburukan, dan menjaga persatuan dari perpecahan.
3. Ijma’ dan Qiyas
Ijma’ yang sering disebut dengan
kesepakatan sahabat terhadap sesuatu,[14]
dan qiyas adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada
kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash
karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukum.[15]
Tradisi yang dilakukan para sahabat
secara konsepsional tidak terpisah dengan sunnah Nabi SAW. Kandungan yang
khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri. Unsur kreatif
dari kandungan merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kritalisasi
dalam ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabi (pendapat sahabat). Praktik
amaliah sahabat identik dengan ijma’ (konsensus umum). Upaya sahabat Nabi SAW,
dalam pendidikan islam yang sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran
dewasa ini.
Abu Bakar
Al-Shidiq: mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang dijadikan
sebagai sumber utama pendidikan islam, meluruskan keimanan masyarakat dari
pemurtadan dan memerangi pembangkang dari pembayaran zakat.[16]
Umar Bin
Al-Khatab adalah bahwa ia seorang bapak revolusioner terhadap
ajaran islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah islam dan memerangi
kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan
pendidikan islam dewasa ini.[17]
Utsman bin
Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berfikir ilmiah
dalam menyatukan susunan Al-Qur’an dalam satu mushaf, yang semua berbeda antara
mushaf satu dengan mushaf lainnya.[18]
Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep
kependidikan seperti bagaimana seyogianya etika peserta didik pada
pendidikannya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya.[19]
Cabang dari ijma’ dan qiyas
- Kemaslahatan umat/sosial (Mashalil al-Mursalah)
Mashalil al-mursalah adalah
menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal
yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan
kemaslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan
menolak kemudaratan [20]
Ketentuan yang dicetuskan mashalil
al- mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria:
- Apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis.
- Kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi.
- Keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar Al-Qur’an dan as-sunnah.
- Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Uruf)
Tradisi (‘uruf/adat) adalah
kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan
secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa
tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat
yang sejahtera.[21]
Kesepakatan bersama dalam tradisi
dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi
ini tentunya memiliki syarat:
a. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik
Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
b. Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat
dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan
kemudaratan.
- Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Ijtihad berakar dari kata jahda
yang berarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al-wus’i
wa thaqati (pengerahan kesanggupan dan kekuatan).
Hasil ijtihad berupa rumusan
operasional tentang pendidikan Islam yang dilakukan dengan menggunakan metode
deduktif atau induktif dalam melihat masalah-masalah kependidikan.
Tujuan dilakukan ijtihad dalam
pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan moderenisasi
pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas.
Kesimpulan
Islam adalah agama yang rahmatan lil
‘alamin, yang mencakup semua aspek kehidupan baik individual maupun social,
baik ketauhidan maupun kemanusiaan. Semua yang menjadi sumber syariat islam seperti
al-Quran, hadis (sunnah), ijma’ dan qiyas, itu juga termasuk ke dalam sumber
pendidikan islam. Sehingga terdapat prinsip-prinsip pendidikan, tujuan-tujuan
pendidikan dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
Jakarta, Litera AntarNusa,
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Prof. Dr., Falsafah
Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Aly, Hery Noer & Munzier Suparta, Pendidikan Islam
Kini dan Mendatang, Jakarta, CV. Triasco.
Asrohah, Hanun, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta,
Logos, 2001.
Khalaf, Abdul Wahab, Prof. Dr., Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta,
PT. RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin, Prof. Dr. H., Metodologi Studi Islam,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf ,Dr., Membumikan Syariat Islam, Bandung,
Arasy Mizan.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan,
2001.
[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 338.
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, Hal. 339.
[3] Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany,
Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, Hal. 427.
[4] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, Jakarta, Litera AntarNusa, Hal. 15-16.
[5] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, Hal. 17.
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, Hal. 333.
[7] Hery Noer Aly & Munzier Suparta,
Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, Jakarta, CV. Triasco, Hal. 109.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an,
Bandung, Mizan, 2001, Hal. 433.
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Hal.
436.
[10] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, Hal. 22.
[11] Dr. Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam,
Bandung, Arasy Mizan, Hal. 53
[12] Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany,
Falsafah Pendidikan Islam, Hal. 429.
[13] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta, Logos, 2001, Hal. 12.
[14] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hal. 64.
[15] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Hal. 76.
[16] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan
Islam, Hal. 16.
[17] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan
Islam, Hal. 17.
[18] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan
Islam, Hal. 18-20.
[19] Hanun Asrohah, M.Ag., Sejarah Pendidikan
Islam, Hal. 21.
[20] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Hal. 126.
[21] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, Hal. 133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar